A.
Konsep-Konsep Dasar Pendekatan Matematika Realistik
1.
Pengertian
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik
(PMR), adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak
tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute,
Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan
manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan
matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide
dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Di sini
matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah
(Dolk, 2006). Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi
harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di
bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui
penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata (Hadi, 2005). Di sini dunia nyata
diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti
kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat
dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada
hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi,
yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de
Lange (dalam Hadi, 2005) sebagai lingkaran yang tak berujung (lihat Gambar 1).
Selanjutnya, oleh Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuisen, 1996) matematisasi
dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Kedua proses ini digambarkan oleh Gravenmeijer (dalam Hadi, 2005) sebagai
proses penemuan kembali.
Matematisasi horizontal adalah
proses penyelesaian
soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika
horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara
mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri. Sedangkan
matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam
matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks.
Dalam istilah Freudenthal (dalam van den Heuvel-Panhuisen, 1996) matematisasi
horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan
matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri.
Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari
masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horizontal, sedangkan
menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri
termasuk matematisasi vertikal.
2. Konsepsi tentang Siswa
Dalam pendekatan
matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (subjek) yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan.
Selanjutnya, dalam pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi
untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka
dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika.
Melalui eksplorasi berbagai masalah, baik masalah kehidupan sehar-hari maupun
masalah matematika, siswa dapat merekonstruksi kembali temuan-temuan dalam
bidang matematika. Jadi, berdasarkan pemikiran ini konsepsi siswa dalam
pendekatan ini adalah sebagai berikut (Hadi, 2005):
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide
matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
c. Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan
penolakan
d. Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari
beragam pengalaman yang dimilikinya
e. Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan
matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.
3. Peran Guru
Pemikiran dan konsepsi di atas menggeser peran guru dalam
kelas. Kalau dalam pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang
otoritas yang mencoba memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam
pendekatan matematika realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator,
moderator, dan evaluator yang menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan
bagi siswa untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan cara mereka
sendiri. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman
belajar yang mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya
sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas). Akibatnya guru tidak
boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum dan buku teks, tetapi harus
terus menerus memutakhirkan materi dengan masalah-masalah baru dan menantang.
Jadi, peran guru dalam pendekatan matematika realistik dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif
memberi sumbangan pada proses belajarnya;
d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan
masalah-masalah dari dunia nyata; dan
e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika
dengan dunia nyata, baik fisik maupun sosial.
4. Katakteristik
Beberapa karakteristik
pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:
a. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual
problems) digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada
siswa.
b. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model
matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan
guru atau temannya.
c. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap
masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara
menemukannya maupun hasilnya).
d. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah
dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil
diskusi.
e. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran
matematika yang memang ada hubungannya.
f. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan
hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika
yang lebih rumit.
g. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk
jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling
cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
Beberapa
hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika realistik di
atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik:
a. Termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran
matematika dilakukan melalui ”belajar dengan mengerjakan;.”
b. termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka
memecahkan masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan
guru hanya berperan sebagai fasilitator;
c. termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa
dikondisikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip
matematika;
d. termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal
pembelajaran matematika adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil
dari dunia siswa;
e. termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan
untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika mereka dengan memecahkan masalah
dan diskusi.
Dua
catatan terakhir di atas mengisyaratkan bahwa secara prinsip pendekatan
matematika realistik merupakan gabungan pendekatan konstruktivisme dan
kontekstual dalam arti memberi kesempatan kepada siswa untuk membentuk
(mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide dan konsep matematika,
melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kontekstual). Untuk lebih jelasnya,
berikut ini disajikan secara singkat teori dan prinsip dasar pendekatan
konstruktivisme dan kontekstual.
Ø Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu pendekatan belajar menurut teori
belajar Piaget. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur kognitif yang berupa
skemata, yaitu kotak-kotak informasi (skema) yang berbeda-beda. Setiap
pengalaman akan dihubungkan dengan kotak-kotak informasi ini. Struktur kognitif
seseorang berkembang melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi, sebagai
hasil interaksinya dengan lingkungan. Asimilasi adalah proses memasukkan
pengalaman baru secara langsung ke dalam kotak informasi yang sudah ada. Ini
terjadi bila pengalaman baru itu sama dengan isi kotak informasi yang tersimpan
dalam struktur kognitif seseorang. Akomodasi adalah proses memasukkan
pengalaman baru secara tidak langsung ke dalam kotak informasi yang sudah ada.
Ini terjadi bila pengalaman baru tidak sesuai dengan informasi yang sudah ada,
dalam hal ini informasi yang sudah tersimpan dalam struktur kognitif seseroang
akan mengalami modifikasi. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat macan
untuk pertama kali mungkin akan menganggapnya sebagai seekor kucing besar
karena dalam struktur kongnitif anak itu sudah ada kotak informasi mengenai
kucing dan dia berusaha memasukkan macan ke dalam kotak informasi kucing. Bila
anak itu sudah mulai mengerti bahwa macan bukan kucing, maka dia akan membentuk
kotak informasi baru mengenai macan atau memodifikasi kotak informasi kucing
yang ada di dalam struktur kognitifnya. Dengan cara inilah struktur kognitif
seseorang berkembang semakin lengkap dan rinci sesuai dengan pengalamannya.
Karakteristik utama belajar menurut pendekatan
konstruktivisme adalah sebagai berikut (Mustaji dan Sugiarso, 2005).
1) Belajar adalah proses aktif dan terkontrol yang maknanya
dikonstruksi oleh masing-masing individu;
2) Belajar adalah aktivitas sosial yang ditemukan dalam kegiatan
bersama dan memiliki sudut pandang yang berbeda;
3) Belajar melekat dalam pembangunan suatu artifak yang
dilakukan dengan saling berbagi dan dikritik oleh teman sebaya.
Berdasarkan
karakteristik belajar di atas, beberapa prinsip pembelajaran menurut pendekatan
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
a) Menciptakan lingkungan dunia nyata dengan menggunakan konteks
yang relevan;
b) Menekankan pendekatan realistik guna memecahkan masalah dunia
nyata;
c) Analisis strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah
dilakukan oleh siswa;
d) Tujuan pembelajaran tidak dipaksakan tetapi dinegosiasikan
bersama;
e) Menekankan antar hubungan konseptual dan menyediakan
perspektif ganda mengenai isi;
f) Evaluasi harus merupakan alat analisis diri sendiri;
g) Menyediakan alat dan lingkungan yang membantu siswa
menginterpretasikan perspektif ganda tentang dunia; dan
h) Belajar harus dikontrol secara internal oleh siswa sendiri
dan dimediasi oleh guru.
Adapun
prinsip-prinsip konstruktivisme yang banyak digunakan dalam pembelajaran
matematika antara lain (Hadi, 2005):
a) Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal
maupun sosial;
b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa;
c) Pengetahuan diperoleh siswa hanya dengan keaktifan sendiri;
d) Siswa terus aktif mengkonstruksi pengetahuannya sehingga
konsep yang dimilikinya menjadi semakin rinci, lengkap, dan ilmiah;
e) Guru hanya menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi berjalan mulus.
Ø Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual didasarkan pada keyakinan bahwa
seseorang akan tertarik untuk mempelajari sesuatu apabila ia melihat makna dari
apa yang dipelajarinya itu. Makna muncul dari hubungan antara isi dan
konteksnya. Di sini konteks diartikan sebagai situasi atau keadaan yang memberi
makna kepada suatu objek. Misalnya, dalam konteks matematika, kata ganjil
berarti bilangan bulat yang tidak habis dibagi dua, sedangkan dalam konteks
bahasa Indonesia kata ini bisa berarti aneh atau janggal. Jadi sebuah kata atau
istilah bisa mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Dalam skala
yang lebih besar, misalnya, konteks Sumatera tidak sama dengan konteks Sulawesi
karena kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan hidup di Sumatera tidak sama
denga kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan hidup di Sulawesi. Demikian pula
konteks Jawa tidak bisa dibawa ke Kalimantan. Tugas utama guru menurut
pendekatan kontekstual adalah menyediakan konteks yang memberi makna pada isi
sehingga melalui makna tersebut siswa dapat menghubungkan isi pelajaran dengan
pengetahuan dan pengalamannya. Tentu saja konteks yang dipilih harus sesuai
dengan kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan hidup di tempat siswa tinggal.
Pendekatan kontekstual meyakini beberapa hal (Johnson dalam
Hadi, 2005), antara lain
a) Siswa memahami dan mengingat apa yang mereka pelajari bila
mereka menemukan makna dari pelajaran mereka;
b) Dengan pembelajaran kontekstual siswa mampu menghubungkan
pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari;
c) Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi siswa
dalam artian memacu siswa untuk membuat hubungan-hubungan yang baru sehingga
menemukan makna yang baru.
Jadi,
pada dasarnya pendekatan konstekstual adalah sebuah pendekatan belajar yang
membantu siswa melihat makna dari pelajaran mereka di sekolah melalui hubungan
antara pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari, baik secara
pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai hal ini, pendekatan kontekstual
memiliki delapan prinsip (Hadi, 2005), yaitu:
·
hubungan yang
bermakna,
·
pekerjaan yang
berarti,
·
pengaturan
belajar sendiri,
·
kolaborasi,
·
berpikir kritis
dan kreatif
·
pendewasaan
individu,
·
pencapaian standar yang tinggi
·
penilaian autentik
Peran guru menurut pendekatan
kontekstual adalah sebagai berikut (lihat Nurhadi et al., 2005):
a) Mengkaji
konsep yang harus dipelajari siswa
b) Memahami
pengalaman hidup siswa
c) Mempelajari
lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa
d) Merancang
pembelajaran yang mengaitkan konsep dengan pengalaman siswa
e) Membantu
siswa mengaitkan konsep dengan pengalaman mereka
f) Mendorong
siswa membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman mereka tentang konsep yang
sedang dipelajari
Ada tujuh komponen utama dalam
pendekatan kontekstual, yaitu (Nurhadi et al, 2005):
1)
Konstruktivisme
Dalam
komponen ini siswa memperoleh pemahaman yang mendalam melalui pengalaman
belajar yang bermakna dengan cara membangun sendiri pengetahuannya sedikit demi
sedikit dari konteks yang terbatas.
2)
Penemuan
Di
sini siswa mengembangkan pemahaman konsep melalui siklus mengamati, bertanya,
menganalisis, dan merumuskan teori baik secara individu maupun berkelompok.
Keterampilan berpikir kritis juga dikembangkan di sini.
3) Bertanya
Dalam
komponen ini siswa didorong untuk mengetahui sesuatu dan memperoleh informasi.
Di samping itu, kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih dan sekaligus
dinilai.
4) Masyarakat Belajar
Di
sini siswa dilatih untuk berbicara dan berbagi pengalaman serta bekerjasama
dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik.
5) Pemodelan
Di sini siswa diberi
model (contoh) tentang apa yang harus mereka kerjakan. Pemodelan dapat berupa demonstrasi
dan pemberian contoh.
6) Penilaian Autentik (Sebenarnya)
Dengan komponen ini
proses dan hasil kedua-duanya dapat diukur.
7) Refleksi
Komponen
ini merupakan komponen yang penting karena memberi kesempatan untuk melihat
kembali apa yang sudah dikerjakan termasuk kemajuan belajar dan hambatan yang
ditemui.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan yang penting dalam sebuah proses
pembelajaran. Guru memerlukan informasi tentang keberhasilan proses
pembelajarannya. Orang tua siswa juga memerlukan informasi tentang kemajuan
atau hasil belajar anaknya dalam matematika. Selain itu, siswa sendiri berhak
mengetahui apa yang mereka peroleh dari pembelajaran matematika. Informasi yang
diperoleh dari kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik bagi semua
pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah.
Selanjutnya, Suryanto (2007) memberikan beberapa catatan mengenai evaluasi pada
pembelajaran matematika realistic.
a) Observasi (pengamatan)
Pada
pembelajaran matematika realistik, evaluasi tidak hanya diperlukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi tertentu, tetapi juga diperlukan untuk
memperoleh gambaran tentang perkembangan siswa, yang meliputi sikap mereka
terhadap pelajaran matematika, taraf kemampuan memecahkan masalah, kekeliruan
yang mereka lakukan dalam memecahkan masalah, cara mereka bekerja sama dengan
teman sekelas, kebutuhan akan bantuan dalam belajar matematika, motivasi
belajar, dan sebagainya. Karena itu, salah satu cara evaluasi yang perlu
ditekankan dalam pendekatan ini adalah observasi (pengamatan).
b) Evaluasi kontinu
Evaluasi
pada pembelajaran matematika realistik lebih menekankan evaluasi proses belajar
atau proses pembelajaran. Jadi, observasi sebaiknya dilakukan secara terus
menerus.
c) Peranan guru dalam evaluasi
Peranan
guru dalam evaluasi meliputi kegiatan melakukan observasi, mendiagnosis
kesulitan siswa, mengembangkan tes dan instrumen lain, melaksanakan tes, dan
menggunakan instrumen lain.
d) Pendekatan holistik
Evaluasi
pada pembelajaran matematika realistik tidak hanya untuk mengukur pencapaian
kompetensi seorang siswa, tetapi juga untuk memperoleh gambar yang
selengkap-lengkapnya mengenai siswa tersebut. Karena itu, evaluasi harus
bersifat holistik (menyeluruh).
e) Format soal terbuka
Evalasi
harus dapat mengungkap kegiatan siswa (menemukan, matematisasi, dan
sebagainya). Karena itu, jika tes akan digunakan dalam evaluasi, maka tes yang
cocok adalah tes yang memuat soal terbuka, yaitu soal-soal yang dapat
dikerjakan dengan beberapa cara atau yang mempunyai beberapa kemungkinan
jawaban tergantung pada tambahan informasi yang boleh dicari oleh siswa, atau
soal-soal yang memerlukan kecakapan siswa untuk mengkomunikasikan
penyelesaiannya.
f) Masalah terapan yang sesungguhnya
Evaluasi
pada pembelajaran matematika realistik perlu memuat masalah terapan yang
sesungguhnya dengan konteks non-matematis, yang memungkinkan siswa melalukan
matematisasi horizontal dan dapat membuat siswa merasa bahwa masalah itu memang
perlu diselesaikan, bukan sekedar masalah verbal untuk melatih siswa
menggunakan rumus.
Contoh:
Untuk mengikuti perlombaan matematika, siswa harus sudah siap di depan kantor
Dinas Pendidikan pada hari Senin pukul 08.00. Anisa tinggal di Perumahan Damai,
Jalan Merpati nomor 10. Dengan kendaraan apa saja Anisa dapat datang ke tempat
perlombaan dan pukul berapa dia harus berangkat?
B. Implementasi Pendekatan
Matematika Realistik
1.
Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Di sini menggunakan 5 (lima) karakteristik utama pendekatan
matematika realistik sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika.
Kelima karakteristik itu adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil
dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus
nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai
dengan pengalaman mereka.
b. Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus
sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di sini model
dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti
cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa.
Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada
di sekitar siswa.
c. Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka
sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan
masalah nyata yang diberikan oleh guru.
d. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru
dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan
siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan
mereka.
e. Hubungan
di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan
masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait
mengait dalam penyelesaian masalah.
Sekarang
mari kita membahas karakteristik di atas untuk melihat bagaimana seharusnya
pembelajaran matematika dirancang. Pertama, pembelajaran matematika harus
realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti membayangkan.
Jadi, pembelajaran matematika realistik dapat diartikan sebagai pembelajaran
matematika yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu, pembelajaran
matematika harus dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia nyata supaya
siswa dapat membayangkannya. Masalah yang dipilih harus disesuaikan dengan
konteks kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus dikenal baik oleh
siswa. Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah, pempek hanya cocok
digunakan di Sumatera Selatan, tetapi tidak cocok untuk digunakan di Papua.
Dalam konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk geometri, misalnya,
Monas atau Jembatan Ampera tidak cocok untuk digunakan di Kalimantan, karena
siswa tidak dapat membayangkan bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah karanteristik
kedua. Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika realistik siswa diberi sebuah
masalah dari dunia nyata dan diberi waktu untuk berusaha menyelesaikan masalah
tersebut dengan cara dan bahasa serta simbol mereka sendiri. Misalnya, pada
awal pembelajaran guru bercerita bahwa dia memiliki dua potong roti dan akan
membagi kedua potong roti itu kepada tiga orang anaknya. Kemudian guru itu
bertanya kepada siswa bagaimana cara memotong roti tersebut supaya ketiga
anaknya mendapat bagian yang sama banyak. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara mereka sendiri, seperti membuat gambar
atau mencari sesuatu yang menyerupai roti. Tentu saja pembelajaran ini akan
lebih menarik bila guru tadi benar-benar membawa dua potong roti ke dalam
kelas. Karakteristik selanjutnya adalah sifat interaktif. Setelah diberi
kesempatan menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, siswa diminta
menceritakan cara yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut kepada
teman-teman sekelasnya. Siswa lain diminta memberi tanggapan mengenai cara yang
disajikan temannya. Dengan cara seperti ini siswa dapat berinteraksi dengan
sesamanya, bertukar informasi dan pengalaman, serta berlatih mengkomunikasikan
hasil kerjanya kepada orang lain. Akhirnya, siswa dibimbing untuk menemukan
aturan umum untuk menyelesaikan masalah sejenis. Di sinilah siswa dapat melihat
hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari atau dengan pelajaran lain.
Inilah yang membuat pembelajaran matematika lebih bermakna.
2.
Langkah-Langkah
Pembelajaran Matematika Realistik
Uraian
di atas jelas menggambarkan langkah-langkah pembelajaran matematika realistik.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan
sebagai berikut (lihat Zulkardi, 2002):
1)
Persiapan
Selain
menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan
memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam
menyelesaikannya.
2)
Pembukaan
Pada
bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan
diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
3)
Proses
pembelajaran
Siswa
mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya,
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa
atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain
dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau
kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan
sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan
aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
4)
Penutup
Setelah
mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa
diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran
siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Sekarang
marilah kita perhatikan contoh bagaimana langkah-langkah ini diterapkan dalam
sebuah pembelajaran matematika. Misalnya, topik yang akan diajarkan adalah
bilangan pecahan. Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam topik ini
adalah ”menjelaskan arti pecahan dan membandingkannya.” Kita dapat menggunakan
kue yang berbentuk bulat dan tipis, seperti serabi, atau kertas berbentuk
lingkaran yang sama besar.
·
Persiapan
Sebagai
persiapan, guru mempelajari terlebih dahulu arti pecahan dan cara
mengurutkannya. Setelah menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai untuk
memulai pembelajaran, guru menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Di sini
kita akan menggunakan masalah membagi kue serabi, sehingga guru harus
menyediakan beberapa lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai
model kue serabi. Selanjutnya guru menyiapkan skenario pembelajaran yang akan
digunakan di kelas. Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam
kegiatan pembelajaran sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini, sehingga
guru bisa mengendalikan proses pembelajaran di kelas.
·
Pembukaan
Pada
awal pembelajaran, guru menceritakan kepada siswa bahwa seorang ibu ingin
membagi 3 potong kue serabi kepada 4 orang anaknya sedemikian rupa sehingga
setiap anak mendapat bagian yang sama. Setelah itu, guru mengelompokkan siswa
ke dalam kelompok-kelompok dengan anggota masing-masing 4 orang. Setiap
kelompok diberi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar sebagai
model kue serabi dan sebuah gunting, lalu diminta membagi 3 lembar kertas
berbentuk lingkaran itu di antara mereka sehingga setiap anggota menerima
bagian yang sama besar. Guru memberi waktu kepada setiap kelompok untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. Setelah waktu yang
diberikan habis, setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyajikan cara yang
mereka tempuh untuk menyelesaikan masalah, sedangkan kelompok lain memberi
kritik dan saran. Kemudian siswa dikelompokkan menjadi kelompok dengan anggota
masing-masing 5 orang dan diminta membagi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran
menjadi lima bagian yang sama seperti sebelumnya. Lalu siswa diminta
membandingkan potongan mana yang lebih besar (3 lembar kertas berbentuk
lingkaran dipotong 4 atau dipotong 5).
·
Proses
pembelajaran
Pada
saat pembelajaran berlangsung guru hanya memperhatikan kegiatan setiap kelompok
membagi ”kue” yang diberikan dan memberi bantuan jika diperlukan. Kemudian guru
memberi kesempatan kepada wakil setiap kelompok untuk menyajikan cara mereka
membagi ”kue” dan kelompok lain memberi kritik dan saran. Selain itu, siswa
juga diminta mendiskusikan potongan mana yang lebih besar (”kue” yang dibagi 4
atau yang dibagi 5). Guru mengarahkan siswa dalam diskusi kelas untuk membuat
kesimpulan bersama tentang arti bilangan pecahan dan cara mengurutkannya.
·
Penutup
Sebagai
penutup, siswa diminta mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah yang
berkaitan dengan materi perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru
mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan dan
pelajari saat itu.
3. Peranan Alat Peraga
Tidak
sedikit guru beranggapan bahwa pola pikir siswa terutama siswa sekolah dasar
sama dengan pola pikir guru sehingga banyak guru menganggap bahwa apa yang
dijelaskannya di depan kelas dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Anggapan
ini sebenarnya menyesatkan. Sesuai dengan teori belajar Bruner, pembelajaran
matematika di sekolah dasar terutama di kelas bawah sangat memerlukan benda
kongkrit yang dapat diamati dan dipegang langsung oleh siswa ketika melakukan
aktivitas belajar. Karena itu, peranan alat peraga dalam pembelajaran matematika
realistik tidak boleh dilupakan. Dalam hal ini alat peraga dapat menjembatani
konsep abstrak matematika dengan dunia nyata. Di samping itu, alat peraga juga
dapat membantu siswa menemukan strategi pemecahan masalah. Dari penggunaan alat
peraga ini siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya, memahami masalah, dan
menemukan strategi pemecahan masalah.
Sebagai
contoh, berikut ini disajikan pembelajaran matematika di SD Kanisius Demangan
Baru Yogyakarta (Triyana, 2004). Materi yang dibahas adalah ”lebih besar dan
lebih kecil” dan ”bilangan antara.” Guru memulai pelajaran dengan meminta siswa
menebak bilangan rahasia yang dipikirkannya. Puluhan siswa segera mengacungkan
jari berebut ingin menebak bilangan rahasia itu. Lebih dari sepuluh anak telah
menjawab, namun tak satupun yang berhasil menebak bilangan rahasia sang guru.
Masih ada beberapa siswa yang mencoba menjawab. Tiba-tiba ada seorang siswa
menemukan ide mengajukan pertanyaan ”Apakah bilangan itu kurang dari 100?” Guru
segera merespons dengan menjawab, ”Ya, bagus sekali! Silakan bertanya lagi.”
Seorang siswa bertanya lagi apakah bilangan itu lebih dari 50. Guru memberi
pujian dan terus memotivasi siswa untuk mengajukan beberapa pertanyaan lagi.
Kurang dari 10 menit akhirnya siswa dapat menebak bilangan rahasia yang
dimaksud, yaitu 75. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah sebenarnya yang
diharapkan oleh guru dari siswa agar mereka sendiri dapat mengembangkan pola
pikir untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya, guru mengajak siswa kembali
bermain tebak-tebakan bilangan rahasia. Masih ada siswa yang langsung menyebutkan bilangan
tertentu.Tetapi ada pula siswa yang mengajukan pertanyaan apakah bilangan
rahasia itu lebih besar atau lebih kecil dari bilangan tertentu. Karena memakan
waktu yang lama, guru membantu siswa dengan menggambarkan garis bilangan di
papan tulis, kemudian meminta siswa menuliskan bilangan-bilangan yang sudah
disebutkan tadi. Berkat bantuan garis bilangan ini siswa dapat menebak bilangan
rahasia yang dimaksud dengan lebih cepat dan terarah.
Cara
lain yang dapat ditempuh adalah dengan membuat kartu-kartu bilangan yang
digantungkan pada seutas tali. Mula-mula disiapkan kartu-kartu bilangan yang
diberi gantungan (bisa menggunakan peniti atau penjepit kertas). Kemudian
seutas tali digantungkan di papan tulis. Ketika seorang siswa menyebutkan
sebuah bilangan, siswa itu diminta mengambil kartu bilangan yang disebutkannya
dan menggantungkan kartu itu pada tali yang sudah direntangkan di papan tulis.
Kartu-kartu bilangan tersebut digantungkan sesuai urutannya, yang lebih kecil
di sebelah kiri. Dengan alat peraga sederhana ini siswa dapat langsung melihat
posisi bilangan-bilangan sehingga mereka dapat membentuk sendiri pengetahuan
tentang bilangan ”lebih dari” atau ”kurang dari” dan bilangan antara.
4. Beberapa Contoh
Pada
bagian ini disajikan beberapa contoh masalah kontekstual yang dapat digunakan
dalam pembelajaran matematika realistik. Contoh-contoh ini menggunakan konteks
Indonesia. Dalam prakteknya, Anda dapat menemukan sendiri konteks yang lebih
sesuai dengan keadaan lokal dan kehidupan siswa di tempat Anda mengajar.
Ø Contoh
1 (Belanja)
Contoh
ini diadopsi dari Dolk (2006). Guru memperkenalkan konteks kepada siswa dengan
bercerita bahwa dia akan mengajak beberapa tetangganya untuk makan malam di
rumahnya dalam rangka ulang tahun anaknya. Dia akan memasak gulai ayam. (Anda
dapat menggunakan masakan yang biasa dimasak orang di tempat tinggal Anda
masing-masing). Pada saat berbelanja, dia mendapatkan bahwa harga ayam pada
saat itu adalah Rp 15.000,- per kilogram. (Harga dapat disesuaikan dengan
harga setempat yang lebih realistik). Untuk acara makan malam tersebut dia
memerlukan tiga setengah kilogram daging ayam. Guru meminta siswa menghitung
berapa besar uang yang diperlukan untuk membeli 3 ½ kilogram daging ayam
tersebut. Siswa bekerja dalam kelompok dengan dua atau tiga anggota. Beberapa
strategi yang mungkin ditempuh oleh siswa adalah sebagai berikut:
a.
Siswa langsung
mengalikan ke bawah 15.000 dengan 3,5 seperti di bawah ini untuk memperoleh
solusi Rp 52.500,-
b.
Siswa mengalikan
terlebih dahulu 15000 dengan 3 untuk memperoleh 45000, lalu menjumlahkannya
dengan ½ dikali 15000, yaitu 7500 dan memperoleh solusi sebesar Rp 52.500,-.
c.
Siswa membagi
15000 menjadi 10000 dan 5000, kemudian mengalikan masing-masing dengan 3 dan ½
lalu menjumlahkannya untuk mendapatkan solusi yang sama, yaitu Rp 52.500,
Ø Contoh
2 (Mengukur dengan manik-manik)
Kemampuan
untuk melakukan pengukuran dalam memecahkan masalah sehari-hari adalah salah
satu kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam pokok bahasan geometeri dan
pengukuran. Salah satu hasil belajar yang diharapkan adalah membandingkan
pengukuran panjang dan berat. Pada prinsipnya pengukuran adalah kegaitan
membandingkan panjang, volume, atau berat sesuatu dengan satuan standar (baku)
yang telah disepakati di seluruh dunia. Sebelum siswa diperkenalkan pada
pengukuran dengan satu baku, seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya,
mereka terlebih dahulu diperkenalkan pada pengukuran dengan satuan tak baku. Rantai
manik-manik dapat digunakan sebagai alat pengukur sederhana yang dapat dibuat
sendiri oleh siswa. Dalam proses pembelajaran siswa diminta mengukur meja,
kursi, tinggi badan, dan lain-lain dengan menggunakan rantai manik-manik yang
sudah mereka buat. Setelah itu, siswa menyajikan hasil pengukurannya di depan
kelas. Siswa lalu diarahkan untuk memikirkan masalah bagaimana kalau
manik-manik yang digunakan sebagai pengukur tidak sama. Di sini siswa baru
mulai diperkenalkan pada satuan baku
Ø Contoh
3 (Kartu bilangan)
Contoh
berikut adalah percobaan yang dilakukan oleh Dr. Yansen Marpaung, salah satu
anggota tim Pendidikan Matematika Realistik Indonesia, di Timbulrejo Yogyakarta
(Hadi, 2005). Pak Yansen mempersiapkan 20 kartu yang dapat ”didudukkan” dan
terbuat dari karton, serta menuliskan sebuah bilangan pada setiap kartu mulai
dari 1 hingga 20. Mula-mula Pak Yansen mengambil kartu bilangan 1 dan 20 serta
meletakkan kedua kartu tersebut pada kedua ujung papan tulis sehingga terdapat
jarak yang cukup besar di antaranya. Selanjutnya, Pak Yansen mengambil kartu
bilangan 2 dan bertanya kepada siswa apakah ada yang mau meletakkan kartu itu
di papan tulis. Seorang siswa maju dan meletakkan kartu bilangan 2 di antara
kartu bilangan 1 dan 20 tepat di samping kartu bilangan 1. Setelah itu Pak
Yansen mengambil kartu bilangan lain
secara acak dan kembali bertanya apakah ada yang mau meletakkan kartu tersebut
pada papan tulis. Demikian
seterusnya hingga semua kartu telah diletakkan pada papan tulis dengan urutan
yang benar. Strategi
lain dikembangkan oleh Pak Yansen. Dia membalik kartu bilangan yang sudah
tersusun pada papan tulis dan menyisakan beberapa pada posisi semula. Dalam konteks Indonesia, kue
dadar atau pizza dapat diganti, misalnya, dengan kue serabi, dan apel dengan
jeruk.